Tampaknya ada kesalahan fatal terminologi dalam pembangunan yang memakai istilah "pertumbuhan ekonomi". Menurut Hogendijk (1996) seorang pakar ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang selalu didegung-degungkan dalam pembangunan sesungguhnya adalah pertumbuhan produksi, sedangkan perekonomian sendiri pada hakekatnya tidak berkembang. Sehingga atas nama keharusan perumbuhan produksi ini menyebabkan sumberdaya alam yang ada di bumi dan sifatnaya terbatas terus dikuras habis-habisan. Parahnya lagi, penyusutan sumber daya alam yang terbatas ini tidak dimasukkan dalam neraca pertumbuhan ekonomi. Sehingga pertumbuhan produksi meningkat dengan meneksploitasi habis-habisan sumber daya alam namun pertumbuhan ekonomi justru menurun (Ismawan, 1999). Akibatnya, masih menurut Ismawan, yang terjadi adalah bahwa pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang saat ini populer dan terus disebutkan oleh para penentu kebijakan (pemerintah) maupun pelaku pembangunan lainnya terjebak dalam jaringan nihilisme.
Kesalahan lainnya menurut Keraf (2001), adanya persepsi bahwa sumber daya alam dianggap sebagai suber daya ekonomi yang siap diolah untuk memenuhi tuntutan pertumbuhan ekonomi. Nilai-nilai lain dari kekayaan sumber daya alam menyangkut nilai sosial, nilai budaya bahkan nilai kelestarian lingkungan jadi diabaikan dan bahkan tidak diperhitungkan sama sekali demi pembangunan. Ketika pemerintah mengumumkan pertumbuhan ekonomi surplus dengan 7 % (misalnya) sesungguhnya perumbuhan negatif. karena kerugian sosial budaya dan lingkungan ternyata sangat mahal dan tidak dimasukkan dalam cost ketika analisis ekonomi dilakukan.
sumber : TATA RUANG AIR, R. Kodoatie dan Roestam Sjarief