06 Mei, 2011

Ven Te Chow

By Professor Emeritus William J. Hall & Professor Marcelo H. GarcĂ­a

Picture of Ven Te Chow As a renowned educator, researcher, and water resources engineer, Ven Te Chow's accomplishments significantly influenced the understanding and importance of water resources throughout the entire world.

Chow was born in Hangchow, Checkiang, China on August 14, 1914. He received his B.S. in Civil Engineering with honors from National Chiao Tung University, China, in 1940, his M.S. Degree in Structural Engineering from Pennsylvania State University in 1948, and his Ph.D. in Civil Engineering (Hydraulics) from the University of Illinois at Urbana-Champaign (UIUC) in 1950. He joined the faculty of the Department of Civil Engineering at UIUC in 1951, advancing through the ranks to Professor of Hydraulic Engineering in 1958. In the intervening years, between these various degrees, he held a variety of technical positions in China and in the United States. As a professor he was immersed in research and instruction, and national and international professional assignments.

A summary of Ven Te Chow's known activities and honors would fill more than three single-spaced pages; a few highlights follow. Ven was a founder and first president of the International Water Resources Association. He was also president of the American Geophysical Union?s Section on Hydrology, as well as fellow and founding member of the American Academy of Mechanics.

He received honorary doctorates from universities in India, Korea, France and Canada. The Louis Pasteur University in Strasbourg, France, awarded him an honorary doctorate, as well as the Louis Pasteur Medal (1976). He was elected to membership in the National Academy of Engineering (1973), a Fellow of the American Academy of Arts and Sciences, Academician of the Academia Sinica and of the China Academy, and on and on. Among his long list of awards was the Silver Jubilee Commemorative Medal of the International Commission on Irrigation and Drainage. Medals and awards galore came from such groups as UIUC, the American Society of Civil Engineering, the Western Electric Fund, Fulbright-Hays, and the National Science Foundation, to mention a few. The State of Texas named him an Honorary Citizen.

Chow was a consultant and lecturer to many governments, governmental agencies and private entities in such countries as Argentina, Austria, Brazil, Canada, the People's Republic of China, Colombia, Costa Rica, the Dominican Republic, France, Ghana, Hungary, India, Israel, Japan, Korea, Mexico, the Netherlands, Peru, Puerto Rico, Turkey, the United Kingdom, Yugoslavia, and the United States. His professional contributions of major societal importance included USAID assistance to the Pan American Union, TVA, and the Texas Water Development Board. Chow was an adviser on water problems to the United Nations Secretariat, as well as an adviser to the U.S. State Department on foreign policy on water management in developing countries.

Chow was the author and editor-in-chief of two well-known books, long considered to be classics, namely Open-Channel Hydraulics (1959), and the Handbook of Applied Hydrology (1965). He was also the co-author of another popular textbook, Applied Hydrology, published after his death in 1988. He wrote his first book at the age of 27 on the Theory of Structures (in Chinese). He was the author or co-author of more than 218 other publications covering a wide range of subjects in hydrology and water resources. In addition he was editor of, and contributor to, a wide range of journals, such as Water Resources Research, the Academic Press Series Advances in Hydrosciences, Journal of Hydrology, the Elsevier's series Developments in Water Science, McGraw-Hill's Water Resources and Environmental Engineering. He was Editor-in-Chief of Water International until very shortly before his death.

Chow was an admired and highly respected colleague at UIUC, revered by his legion of students both here at the university and worldwide. He often was described as a giant in his field, as both a developer and a disseminator of knowledge. It is fair to describe Chow as a worldwide educator and public servant in hydrology and water resources, a stature rarely achieved. He was a true ambassador and leader for the then-emerging field of Hydrologic Science. He organized the first U.S. Meeting of Hydrology Professors at UIUC in 1969.

Ven Te Chow died on July 30, 1981, in Champaign, Ill. He and his wife Lora had two children, Margot and Marana.

Prof. Ir. Hardjoso Prodjopangarso

Walaupun saya bukan mahasiswa UGM namun saya tetap terharu membaca sedikit cerita mengenai beliau. Semoga semakin banyak orang-orang seperti beliau…

 

imageDi usia 84 tahun masih mengajar program S-2 dan melakukan penelitian tentang teknik sipil hidro tradisional. Pensiun dini di usia 56 tahun agar bisa melanglang ke sejumlah daerah untuk memecahkan masalah pengairan. Menciptakan Tripikon, Pinastik A, Nyi Bunga Sihir, dan Nalareksa Bak Jantung. Tak haus tropi dan penghargaan. Resep bugarnya, mengangkut air di tengah malam.

BEBERAPA mahasiswa nampak duduk santai di halaman depan gedung Laboratorium Teknik Tradisional Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Mahasiswa S-2 Program Teknik Sipil Hidro itu tengah menunggu kuliah yang diberikan Profesor Ir Hardjoso Prodjopangarso.

Tepat pukul 09.00, sesuai jadual, nampak Pak Dosen dengan perawakan kecil dan terlihat sangat uzur itu berjalan mendekati kerumunan mahasiswa itu. Profesor Hardjoso menyapa mereka dengan ramah. Ia berjalan pelan menuju ruang terbuka di sebelah gedung. Para mahasiswa mengikutinya. Selama 45 menit dosen sangat senior itu memberikan penjelasan mengenai teknologi tradisional pengairan pasang surut.

Hardjoso Prodjopangarso sebenarnya sudah pensiun sebagai guru besar UGM. Ia menggapai guru besar pada 1967. Hardjoso mengajukan pensiun dini pada usia 56 tahun. Bukan karena ia tak mau lagi mengajar. Namun justru ia ingin bisa berbuat banyak dengan ilmunya. Bukan saja buat alamamaternya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, juga untuk masyarakat luas.

Prinsip untuk selalu memberikan ilmu bermanfaat bagi masyarakat banyak itu teguh dipegangnya. Di usia yang memasuki 84 tahun, pada 9 Mei lalu itu, Hardjoso masih aktif mengajar. Juga melakukan sejumlah penelitian. Ia bahkan menyetir sendiri mobilnya ke manapun dia pergi. Memang, tak segesit masa mudanya.

MAHASISWA NOMOR URUT SATU

Masa kecil Hardjoso dihabiskan di Surakarta. Pendidikan dasar dituntaskan di di RK Hollandsch Inlandsche School (HIS) Purbayan Surakarta pada 1937. Di masa remajanya, Hardjoso pindah ke Jakarta. Ia menamatkan studinya di RK Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Sekolah Menengah Teknologi, dua-duanya di Jakarta.

Tahun 1946, di masa perang kemerdekaan, Hardjoso tercatat sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik (STT) di Yogyakarta. STT adalah cikal bakal Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hardjoso bangga ia menjadi mahasiswa pertama yang mendaftar di STT. ”Kalau Anda lihat daftar alumni Fakultas Teknik UGM saya merupakan mahasiswa teknik dengan Nomor Induk Mahasiswa 1,” kata Hardjoso mengenang.

Di awal kuliahnya itu, Hardjoso ikut berperang ketika penjajah Belanda berusaha mengusai kembali Indonesia, yang dikenal sebagai perang kemerdekaan (1947-1949). Ia masuk Korps Mahasiswa Kompi M, Brigade Tujuh Belas.

Insinyur Teknik Sipil direngkuhnya pada 1953. Pilihannya pada teknik sipil dengan alasan, “Saya senang masyarakat sipil. Tugas pokoknya membuat bangunan-bangunan, jaringan air minum, fasilitas-fasilitas umum yang semuanya berfungsi untuk melayani masyarakat.”

Toh, ia tak langsung mengajar setelah lulus. Ia bekerja di Departemen Kesehatan selama lima tahun. Baru sejak 1958 ia menjalani profesi sebagai dosen di UGM Yogyakarta.

DARI TRIPIKON S HINGGA NYI BUNGA SIHIR

Ilmunya benar-benar dikembangkan untuk kepentingan masyarakat. Hardjoso memang getol melakukan survei di sejumlah daerah di Tanah Air. ”Separo hidup saya dihabiskan untuk survei keluar masuk belantara dan menjelajahi rawa. Sampai saat ini ada yang menganggap saya ahli bidang penanganan rawa,” kata Hardjoso.

Hobinya keluar masuk pedalaman itu kini dikenang masyarakat daerah karena teknologi ciptaannya. Ia meninggalkan sejumlah karya bidang pemeliharaan teknologi dan ekologi. Misalnya, pengairan pasang-surut di Kalimantan dan Sumatera. Kalangan teknik sipil mafhum betul siapa pencipta teknologi Tripikon-S.

Tripikon-S adalah teknologi penanganan limbah untuk daerah dengan kondisi air tanah tinggi, daerah berair dan rawa-rawa. Kisah proses kreatif terciptanya Tripikon-S ini cukup unik. Bermula dari keikutsertaan sang profesor menangani proyek pasang-surut Departeman Pekerjaan Umum di Kalimantan. Ia sempat berdialog dengan Walikota Pontianak.

“Pada waktu itu walikota bilang perguruan tinggi itu bisanya cuma ngritik saja mbok saya diberitahu bagaimana caranya melayani masyarakat?” kata Hardjoso menirukan ucapan Pak Walikota.

”Saya merasa disinggung sebab saya berasal dari perguruan tinggi. Saya jawab, ’Pak, satu bulan lagi saya kembali. Nanti penyelesaiannya saya akan berikan langsung kepada Bapak. Muncullah ide menciptakan Tripikon-S ini dan bisa diterapkan,” kata Hardjoso.

Selain Tripikon-S sebenarnya masih ada temuan teknologi tepat guna buat masyarakat pedesaan. Di antaranya Pinastik A, Nyi Bunga Sihir, dan Nalareksa Bak Jantung. Semua teknologi ciptaannya itu berkaitan dengan instalasi bangunan air. Meski banyak temuannya, tak pernah muncul keinginan Hardjoso mempatenkan karyanya. Ia tak haus puja-puji. Apalagi sekadar penghargaan. Ia bahkan menolak pemberian Anugerah Hamengku Buwono IX pada 2006 lalu.

LITERATUR DALAM NEGERI

Kini, di usia sepuh, waktunya di luar rumah ia habiskan di Laboratorium Teknologi Tradisional di Yogyakarta, tak jauh dari kampus UGM di Bulaksumur. Ia memang tak lagi getol ke luar kota melakukan survei keluar masuk pedalaman.

Toh, namanya tetap tak hilang dari pembicaraan. Pada pertemuan di UGM Yogyakarta, dalam rangka gerakan ketahanan pangan Hardjoso diundang sebagai pembicara kunci. Hadir di situ menteri pekerjaan umum, menteri negara tenaga kerja dan transmigrasi dan menteri pertanian. Juga gubernur Papua, Kalimantan Tengah dan Yogyakarta.

“Saya diminta memberi saran-saran dan masukan. Saran saya sudah lampau. Ketika masih aktif antara tahun 1968 hingga 1986 saat membuka rawa-rawa. Meskipun saat ini di laboratorium masih aktif melaksanakan penelitian-penelitian. Di laboratorium segala sesuatu saya sederhanakan, ya ilmu, ya teknologi, supaya bisa sampai ke rakyat paling bawah,” kata Hardjoso merendah.

Masih menggeliat dalam benaknya, betapa pemerintah masih belum mengelola kekayaan alam di Tanah Air. Menurutnya, di luar Pulau Jawa masih banyak kekayaan belum tersentuh, seperti rawa dan gambut tebal. Semua itu belum dimanfaatkan optimal. Penelitian yang menyentuh area rawa dan gambut itu belum banyak dilakukan.

“Kekayaan Indonesia luar biasa tapi harus tahu cara menangani. Disamping keterampilan, cinta Tanah Air juga dibutuhkan,” ujarnya.

Sayangnya, perguruan tinggi tak mengajarkan lagi bagaimana mengelola lahan belum produktif semacam rawa dan gambut. ”Saya setuju sekali ketahanan pangan bisa dihasilkan di rawa. Saya ceritakan bagaimana ketika membangun perairan pasang surut mulai 1968 hingga 1986,” kata Hardjoso.

Hardjoso hanya bisa berharap, perguruan tinggi tak hanya memberikan saran mahasiswanya memperlajari literatur asing. Padahal banyak literatur dari dalam negeri yang lebih berbasis pada kondisi di Tanah Air.

Itulah kenapa di usia senjanya, Profesor Hardjoso tetap senang berlama-lama di laboratorium teknologi tradisional. Bangunan laboratorium kini menjadi lebih megah. Ruang kerja Hardjoso juga lapang dan berpendingin udara. “Sebenarnya saya tidak suka ruangan ber AC namun untuk menghormati pemberian dari Departemen Pekerjaan Umum, ya akhirnya saya tempati juga,” katanya.

GUGUR DALAM PENELITIAN

Tentu hal itu berlainan dengan mahasiswanya yang lebih suka kuliah di ruang berpendingin udara. Padahal, semasa ia kuliah tantangannya ikut mempertahankan kemerdekaan. Banyak mahasiswa gugur di medan pertempuran. Memang, semasa menjadi dosen dan peneliti, ada mahasiswanya yang sampai gugur sewaktu melakukan penelitian. “Asisten saya ada yang tenggelam, belum lagi yang dipatuk ular,” ujarnya mengenang.

Herannya, mahasiswa sekarang justru bertempur sendiri, antarfakultas. Hardjoso berharap rasa cinta Tanah Air kembali dipupuk. ”Dulu, ketika didendangkan Indonesia Raya, kami bisa mbrebes mili (berurai air mata),” kata Hardjoso mengenang.

Ia menularkan rasa cinta Tanah Air itu saat memberikan pembekalan program KKN mahasiswa UGM Yogyakarta. Di Laboratorium Teknologi Tradisional, memang ada beragam teknologi tradisional yang tepat guna di pedesaan. Ada pengairan subak, rumah honai, dan model tripikon karya Hardjoso. “Kalau ada rasa cinta Tanah Air, generasi muda mampu mengurangi gesekan-gesekan antar mereka.

RESEP BUGAR SANG PROFESOR

USIA 84 tahun tentunya rentang umur yang panjang. Tak semua orang bisa mencicipinya. Terlebih di usia itu masih punya daya ingat yang brilian seperti Profesor Hardjoso. Apa resepnya tetap bugar dan punya daya ingat? “Saya tidak pernah minum obat-obatan seperti obat kuat dan sebagainya,” katanya.

Resep penting lainnya: selalu menyukai dan tidak pernah membandingkan dengan orang-orang yang punya kedudukan di atas. ”Saya selalu apa adanya. Apa-apa yang Tuhan beri selalu saya syukuri,” katanya.

Hardjoso bahkan tak punya ambisi muluk-muluk. Kalaulah disebut ambisi, kaya Hardjoso, ia ingin ilmu dan teknologi bisa sampai ke rakyat paling bawah. ”Melalui Kuliah Kerja Nyata, saya sampaikan ke desa-desa bagaimana membuat alat bermanfaat.”

Ia menyebut obsesinya itu ambisi lunak. ”Mungkin hal ini yang membuat saya masih aktif hingga saat ini. Saya juga masih nyetir mobil sendiri,” ujarnya.

Satu kegiatan unik ia lakukan untuk menjaga stamina. “Olahraga saya antara lain di tengah-tengah tidur malam saya bangun dan jalan-jalan mengisi bak air mandi. Kualitas air minum dari ledeng kurang bagus makanya harus diisi dengan air dari sumur dengan pompa,” tuturnya. Olahraga malam ala sang profesor itu rupanya berdampak pada kualitas tidurnya yang disebut jadi lebih baik. “Tidur malam saya jadi lebih nyenyak.”

Resep penting agar bisa tetap berkarya di usia senja menurutnya adalah cinta Tanah Air, dan selalu punya misi membantu masyarakat. ”Ada satu lagi: dukungan istri dan keluarga.”

MF. ARIEF

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

AddThis

Share |